Langsung ke konten utama

Anakku memanggilku ibu guru


Hisyam adalah panggilan anakku, setiap sore dia menyaksikanku mengajar  anak-anak mengaji dirumah, suatu hari aku mengajaknya bermain peran, aku sebagai gurunya, dan pastinya anaku sebagai murid,  dengan maksud agar ia mau belajar seperti anak-anak lainnya, karena disetiap aku mengajar ia hanya bermain dan berlari hilir mudik mengelilingi teman-temannya, dari situ aku berfikir mungkin anakku  sudah seharusnya aku ajarkan seperti anak-anak lain dengan tenaga extra karena umurnya yang masih kecil, hingga terfikirlah permainan peran ini.
aku: Ayo hisyam.... sekarang kita belajar berdoa yaah.... 
Hisyam: doa apa maaah....
Awalnya ia masih memanggilku mamah tetapi, karena gayaku seperti aku mengajar anak-anak , lalu ia mengubahnya.
Hisyam: doa apa bu guru......?
Aku tertawa mendengarnya...., tanpa banyak mengomentarinya aku melanjutkan permainan, karena ditakutkan dia akan malu dan tidak mau belajar , karena kebiasaan anak kecil jika ia merasa tersindir ia selalu terhenti untuk melanjutkan yang ia lakukan . aku menyangka aku harus banyak mengeluarkan suara dan berlelah-lelah untuk mengajarinya. Ternyata tidak, ia bisa menghafalkan doa-doa harian yang anak-anak tpa pelajari, meski salah-salah sedikit tapi ia berusaha mengingatnya. Tidak disangka memori anak itu lebih tajam dari yang kita fikirkan, ia hanya mendengar tanpa kita tahu berkonsentrasi atau tidak, ia bermain tapi itulah waktunya dia belajar,  dalam sebuah buku disebutkan sesuai dengan  modus Pengalaman belajar adalah sebagai berikut:
kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.
 Hal ini menunjukkan bahwa jika guru mengajar dengan banyak ceramah, maka peserta didik akan mengingat hanya 20% karena mereka hanya mendengarkan. Sebaliknya, jika guru meminta peserta didik untuk melakukan sesuatu dan melaporkan nya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%.
 Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang filosof Cina Confocius, bahwa:
apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan apa yang saya lakukan saya paham. Dari kata-kata bijak ini kita dapat mengetahui betapa pentingnya keterlibatan langsung dalam pembelajaran.
ternyata benar suatu pepatah mengatakan التعلّم في الصغر كالنقش على الحجر  bahwa belajar ketika kecil itu bagaikan melukis diatas batu. Bahkan ia selalu teringat, ketika aku salah mengajarkannya suatu kata dan suamiku mengoreksinya, ia masih teringat dengan kata-kata yang salah yang pernah aku ajarkan, sampai aku berfikir bagaimana caranya agar ia lupa dan mengingat yang baru dan benar, ah guru nya masih harus belajar.

Dari situ terfikir, benar sekali bahwa ibu adalah sekolah pertama, anak akan belajar pertama kali dari sang ibu, jika ibu memberikan pengajaran dan pendidikan yang baik, insyaAllah akan tumbuh generasi-generasi yang baik , begitu juga sebaliknya. Dalam pepatah arab disebutkan:

أعددت شعبا طيب الأعراق الأم مدرســـة إذا أعددتهـــا

Semoga aku bisa menjadi ibu sekaligus pendidik dan pengajar yang baik  bagi anak-anakku, apa kata dunia jika seorang guru yang selalu mengajar anak-anak lain dan anaknya sendiri tidak tersentuh ilmu atau adab dari tangan ibunya yang menyandang nama guru. Naudzubillah
Ayo kita ajari anak-anak kita sedari dini dari rumah kita dari dekat kita, hingga besar nanti ilmu itu akan terpatri didirinya dan menjadi amal sholeh bagi kita. Aamiin
(shofw el fikry)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Galau, pilih aku atau saya..........

Bulan kemarin saya memulai lagi menulis blog setelah sekian lama berhenti karena banyak alasan, alias tidak menyempatlan diri, getok kepala.... , setelah beberapa tulisan saya   post di blog dan saya baca kembali, rasanya kok tulisan saya agak gemana gitu, seperti ada kesan lain, dan saya pun bingung sekaligus dilema...yah galau laah,   antara memilih kata tunggal aku atau saya yang baik dalam penulisan, setelah membaca dari berbagai sumber, kesimpulannya seperti ini:  Aku dan saya memiliki arti yang sama, hanya beda dalam menggunakannya, dalam kamus besar bahasa indonesia Aku:   berarti yang berbicara atau yang menulis dalam ragam akrab, dari lain sumber kata aku menunjukkan statusnya lebih tinggi, usia lebih tua, mempunyai nilai puitis.   Sedangkan Saya: menunjukan statusnya lebih rendah, sopan, formal dan terdengar luwes dari pada aku dan dalam ragam resmi atau biasa. lumayan ada pencerahan setelah sedikit membaca buku ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan, in

NICE HOMEWORK #8

*MISI HIDUP DAN PRODUKTIVITAS* Bunda, setelah di materi NHW#8 kita belajar tentang bagaimana pentingnya menemukan misi hidup untuk menunjang produktivitas keluarga. Maka saat ini kita akan lebih menggali bagaimana menerapkannya secara teknis sbb : a. Ambil salah satu dari ranah aktivitas yang sudah teman-teman tulis di kuadran SUKA dan BISA (lihat NHW#7)  1. Mengajar anak-anak dirumah b. Setelah ketemu satu hal, jawablah pertanyaan “BE DO HAVE” di bawah ini : 1. Mental seperti apa yang harus anda miliki untuk menjadi seperti yang anda inginkan ? (BE) saya harus selalu bersemangat untuk belajar, mencari inspirasi pembelajaran untuk anak2, mempersiapkannya sebelum belajar dimulai. Saya harus menanam segala hal yang baik dan positif karena saya akan menuainya kelak. 2. Apa yang harus anda lakukan untuk menjadi seperti yang anda harapkan ?(DO) - segala persiapan pembelajaran esok hari harus sudah siap sebelum tidur. - mencatat target dan evaluasi setiap pembelajaran. -

Rindu yang takkan padam

Ketika itu, seakan aku berjalan tanpa kaki, melayang, lemas, tak bertenaga dan air mata yang tak kuasa ku bendung membanjiri mataku. Di umurku yang masih sangat muda dan membutuhkan kasih sayang. Seorang yang selalu menjadi sandaran, tempat bercerita, harus meninggalka nku tanpa ada suatu pertanda. Pagi itu aku pergi ke sekolah dasar di bandung, entah karena alasan apa mamah dan bapak memilihkan sekolah yang jaraknya tidak dekat dari rumah ku , sehingga mengharuskan ku menaiki angkutan umum dan menyebrangi rel kereta api, padahal masih ada beberapa sekolah yang bisa ku tempuh dengan berjalan kaki, mungkin ini bukan persoalan yang harus dipertanyakan, karena orang tua pasti telah memikirkannya lebih matang untuk kebaikan ku . Kadang aku, adikku dan kakakku, aku anak kedua dari empat bersaudara, selalu pergi bersamaan menuju sekolah. Ketika masih duduk di kelas 1 sd mamahlah yang mengantar dan menjemput ku dan sekarang, aku sudah naik ke kelas lebih tinggi, dan mama